Sabtu, 17 Desember 2011

GEGURITAN


GEGURITAN
Yen Rembulane Moblong, Paman
Dening I. Kunpriyatno
yen rembulane moblong, paman
aku kangen sanja menyang plataranmu
nggelar klasa sangisore wit gayam
jejadhuman karo ngematke swarane
bocah – bocah sing padha dolanan
yen rembulane moblong, paman
aku kangen ngrungokake gumelegere guyumu
sanadyan sawah lan tegal siji mbaka
siji ilang. Sanadyan anak lanang
milih ngumbara ing paran
suthik ngopeni lemah warisan
yen rembulane moblong, paman
aku kangen nyekseni marang keteguhanmu
nggegem sawijining kapitayan. Ngadhepi
owah – owahane jaman. Kaya watu karang
sing ora nate gigrig nantang jumlegure
alun ing satengahe wahudayan
Penjebar Semangat;Nomor 50. 12 Desember 2009


NILAI ESTETIKA GEGURITAN
Nilai estetika dalam suatu geguritan dapat dilihat dari berbagai sisi. Dari aspek maknanya sendiri, geguritan berjudul “Yen rembulane mbolong, paman” memiliki nilai estetika dalam makna tersurat yang menggambarkan mengenai kerinduan “aku liris” kepada sosok “paman”. Kerinduan yang memunculkan paradigma bahwa sosok “paman” dalam geguritan adalah sosok yang mengagumkan sehingga membuat “aku liris” begitu menyukainya karena sifatnya yang luhur, humoris, penyayang, teguh pendirian, kuat, dan sabar.
Sedangkan dalam makna tersiratnya, geguritan ini menggambarkan bahwa orang yang baik akan selalu indah dalam kenangan seseorang, begitu juga bahwa dalam menjalani hidup, setiap orang hendaknya selalu sabar dalam menghadapi segala cobaan dan teguh pendirian. Nilai estetika yang lain yaitu dari aspek bunyi dalam geguritan. Dari aspek bunyi, dapat kita temukan rima akhir baris yaitu:
·         milih ngumbara ing paran
·         suthik ngopeni lemah warisan
Selain itu, dalam aspek bentuk ditemukan majas hiperbola dalam geguritan diatas seperti dalam baris yang berbunyi :
·         aku kangen ngrungokake gumelegere guyumu
Kemudian terdapat pula majas simile yang membandingkan keadaan penyifatan paman yang kuat dan teguh pendirian dengan gambaran batu karang, yaitu :
·         aku kangen nyekseni marang keteguhanmu
nggegem sawijining kapitayan. Ngadhepi
owah – owahane jaman. Kaya watu karang
sing ora nate gigrig nantang jumlegure
alun ing satengahe wahudayan
Setelah kita melihat beberapa aspek diatas, dapat pula kita melihat nilai estetika dari geguritan diatas yang berupa diksi/pilihan kata. Dalam hal ini, geguritan menggunakan diksi berupa bahasa jawa ngoko disertai dengan bahasa-bahasa kias lain yang menimbulkan keapikan dari segi irama dalam membaca geguritan tersebut. Disamping itu jika kita lihat dari pengulangan kata “aku kangen” disetiap baitnya, penulis sepertinya ingin menunjukkan sesuatu kepada pembaca. Penonjolan kata tersebut dapat kita maknai bahwa sosok “paman” yang dirindukan “aku liris” sudah tidak ada lagi raganya/meninggal, sehingga penulis akhirnya menonjolkan kata “aku kangen” dengan menulisnya secara berulang karena sudah tidak mungkin untuk menemuinya lagi. Dari segala nilai estetis yang ada inilah, dapat kita ambil kesimpulan bahwa geguritan karya I. Kunpriyatno ini bersifat penggambaran mengenai kekaguman dan kerinduan pada sosok orang pada masa lalu yang telah mengisi memori “aku liris” dan memang pantas untuk di kagumi olehnya, yaitu sang paman.

7 komentar: