WAYANG “DEWA RUCI”
Oleh : Ki Manteb Soedharsono
Pagelaran wayang ini menceritakan tentang perjalanan dan perjuangan Bratasena sebagai ksatriya sejati dalam menemukan jati dirinya demi mencapai ketentraman hidup yang sesungguhnya. Yaitu ketentraman dan ketenangan hati yang hanya bisa dicapai dengan niat yang besar, tekad yang kuat, perbuatan yang baik, dan jiwa yang suci.
Lakon “Dewa Ruci” ini mengajarkan kepada kita bagaimana menjadi insan yang mulia dihadapan Tuhan Yang Maha Esa dengan cara mengalahkan hawa nafsu dan jiwa angkara murka yang ada di dalam diri setiap manusia. Yakni bahwa setiap kejahatan akan dikalahkan oleh kebaikan, dan bahwa orang yang menuntut ilmu wajib menanamkan kesungguhan dalam hatinya serta mengamalkan ilmu yang telah ia dapatkan dalam proses pembelajarannya.
ANALISIS WAYANG “DEWA RUCI” BERDASARKAN BHAVA-RASA
Bhava merupakan emosi/hal yang ditampilkan oleh para tokoh, sedangkan rasa adalah respon/kesan yang diterima oleh penikmat atau penonton. Analisis berdasarkan hal tersebut berdasarkan lakon wayang “Dewa Ruci” diantaranya :
- Bhava rati/kenikmatan dan rasa srngara/erotis. Dalam hal ini, bhava rati dan rasa srngara dapat dirasakan dalam adegan ketika Bratasena bertemu Dewa Ruci yang sejatinya adalah cerminan jiwanya sendiri, yaitu ketika Bratasena berada dalam Guwa Garba di samudera Minangkalbu.
- Bhava hasa/humor dan rasa hasya/lucu. Ini dirasakan dalam adegan ketika tokoh punokawan muncul dan berbicara satu sama lain.
- Bhava soka/kesedihan dan rasa karuna/haru. Dapat dirasakan ketika Dewi Kunthi hendak melepas kepergian Bratasena yang kukuh pendiriannya ingin mencari Tirta Pawitra berdasarkan petunjuk dari gurunya Drona.
- Bhava krodha/kemarahan dan rasa raudra/ngeri. Dirasakan ketika adegan Bratasena bertarung dengan dua raksasa di gunung Candramuka dan ketika adegan bertarungnya Hanoman dengan Kartamarma untuk menghalanginya merebut Begawan Drona dari tangan Bratasena.
- Bhava utsaha/keberanian dan rasa vira/heroik. Bhava dan rasa ini terlihat dalam adegan ketika Bratasena selesai bertarung dengan dua raksasa di gunung Candramuka yang ternyata merupakan jelmaan dari Dewa Indra yang berterimakasih kepadanya karena telah dibebaskan dari penderitaan berupa kutukan.
- Bhava bhaya/ketakutan dan rasa bhayanaka/takut. Kedua hal ini dapat dirasakan ketika Bratasena hendak masuk ke dalam lautan/samudera Minangkalbu.
- Bhava jugupsa/kejijikan dan rasa vibhatsa/muak. Bhava dan rasa ini dapat kita rasakan ketika kita melihat betapa liciknya Sengkuni dan Drona yang memiliki rencana buruk terhadap Bratasena.
- Bhava vismaya/keheranan dan rasa adbutha/takjub. Ini dapat kita temukan pada adegan ketika Bratasena berhasil mendapatkan apa yang ia inginkan, yaitu berhasil mengetahui arti dari “Kayu Gung Susuhing Angin” dan “Tirta Pawitra” yang merupakan tugas dari gurunya dan ketika Bratasena akhirnya menjelma menjadi Bimasuci.
KESIMPULAN
Dari kedelapan Bhava-Rasa yang telah dianalisis, maka sebagai penikmat kita dapat mengetahui dan merasakan gabungan dari keseluruhannya yaitu “Bhava Nirveda/Samaveda yang artinya ketenangan dan Rasa Santa yang artinya gembira” seperti yang dapat kita lihat pada adegan pagelaran wayang DEWA RUCI yang terakhir yaitu ketika sang Bimasuci yang telah menyelesaikan semua tugasnya dan berterimakasih kepada gurunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar